Terkadang sunyi dari publisitas

380 Views

Di kalangan Organisasi Non Pemerintah, Hambali dikenal salah satu senior yang masih eksis dengan gagasan-gagasan inovatif dalam kegiatan pemberdayaan dan pengorganisasian masyarakat di tingkat tapak . “ibarat pendekar,bekas tebasan pedangnya masih membekas di banyak tempat, bisa kita jumpai di pedalaman-pedalaman indonesia,”  Hambali adalah salah satu  fasilitator dan pendidik yang andal dalam dunia gerakan sosial dengan jam terbangnya tinggi dan lama dan sampai sekarang tetap konsisten memilih profesinya sebagai guru transformasi sosial.

Menurut Hambali,  tentang ekosistem Pertanian kita pada saat ini, Banyak orang, termasuk warga desa dan petani sendiri, masih menganggap bahwa keberhasilan usaha pertanian mereka sangat atau bahkan ‘hanya’ ditentukan oleh ketersediaan lahan, benih atau bibit (terutama bibit unggul atau hibrida), pupuk dan pembasmi hama atau penyakit tanaman (terutama yang kimia buatan atau bukan organik). Anggapan itu tidak salah jika yang mereka maksud dengan semua unsur utama budidaya pertanian itu memang benar-benar sesuai, tidak merusak, dan saling melestarikan, terutama dalam jangka panjang, dengan keadaan tanah dan lingkungan sekitar dimana kegiatan budidaya itu berlangsung. Keadaan tanah dan lingkungan –selain lingkungan alam atau biofi sik, juga lingkungan sosial-ekonomi, politik dan budaya– di sekitar tapak atau tempat kegiatan budidaya pertanian berlangsung itulah yang disebut sebagai ‘ekosistem pertanian’ (agro ecosystem).

Pengetahuan dasar tentang ekosistem pertanian sangat penting, bahkan ‘wajib dan mutlak’, dimiliki oleh seorang petani atau warga pedesaan yang sumber penghidupan utamanya adalah dari usaha budidaya pertanian. Tanpa pengetahuan dasar dan pengenalan memadai tentang ekosistem pertanian tempatan, usaha budidaya pertanian yang dilakukan di sana menjadi sangat rentan atau rawan, memiliki risiko lebih tinggi untuk gagal. Kalaupun berhasil, hanya akan bersifat sementara dalam jangka pendek (beberapa kali panen saja), tetapi tidak akan ajeg dan berkesinambungan dalam jangka panjang. Selain itu, karena menggunakan asupan kimia pertanian (pupuk, pembasmi hama dan penyakit tanaman, serta peralatan mekanisasi berbahan bakar fosil), ongkos atau atau biaya produksinya semakin tinggi dan terus bertambah. Akibatnya, tingkat keuntungan (laba usaha) yang diperoleh pun semakin menurun dan terus berkurang. Bahkan, dalam banyak kasus selama ini, usaha budidaya pertanian yang kian tergantung pada asupan luar (external input) tersebut, akhirnya ambruk alias bangkrut. Jadi, itulah sebab mengapa semakin dianjurkan untuk kembali ke sistem ‘pertanian ramah lingkungan’ (ecological agriculture). Sistem yang juga dikenal sebagai ‘pertanian berkelanjutan’ (sustainable agriculture), ‘pertanian hayati’ (bio-organic atau organic agriculture) atau ‘pertanian ajeg’ (permaculture) yang berbasis pada keadaan alami tanah dan lingkungan hidup sekitar. Semakin banyak pakar, berdasarkan riset mereka, justru menganjurkan penerapan sistem pertanian ramah lingkungan tersebut sampai ke taraf ‘alamiah murni’ (100% bebas dari asupan kimia dari luar).

Nah, salah satu prasyarat utama untuk kembali menerapkan sistem budidaya pertanian ‘ramah lingkungan’ tersebut adalah memahami, mengetahui, dan menguasai cara-cara mengelola ekosistem pertanian, juga secara berkelanjutan. Jadi, keharusan menerapkan praktik-praktik pertanian ramah lingkungan bukan cuma terbatas di tapak lahan dimana budidaya dilaksanakan, tetapi pada keseluruhan bentang alam (landscape) yang melingkunginya. Maka, tak ada guna kita melakukan praktik budidaya organik di atas lahan tertentu saja, sementara di lahan-lahan sekitarnya masih tetap melaksanakan praktik budidaya dengan asupan kimia yang tinggi. Lahan kita tetap saja akan tercemar oleh ‘penyelinapan’ (penetrasi) zat-zat kimia yang ada di lahan-lahan sekitar.

Penyelinapan itu bisa melalui hembusan angin (membawa debu renik atau partikel-partikel kimia semprotan), melalui aliran air permukaan atau juga air bawah tanah (membawa residu bahan cairan kimia), atau bahkan melalui bangkai hewan-hewan tertentu yang banyak berkeliaran di lahan dan antar lahan (terutama serangga, lebah, burung-burung, keong, ular, dan sebagainya). Itu sebab mengapa salah satu persyaratan sertifikasi resmi hasil pertanian organik memerlukan pemeriksaan lapangan yang sangat rinci dan teliti pada seluruh bentang alam yang ada, dari hulu sampai hilir, pada jarak (radius, parameter) tertentu yang berada pada satu hamparan kawasan yang sama dengan lahan dimana praktik organik itu dilakukan.

Banyak contoh dan hasil riset kita lakukan, seluruh hamparan sawah dan tegalan di kawasan bentang alam tersebut sudah menggunakan asupan kimia pertanian yang sangat tinggi dan terus bertambah, termasuk lahan-lahan sawah yang luasannya kian menyusut akibat perluasan (ekspansi) perkebunan monokultur kelapa sawit.  Banyak Petani Nyaris putus asa mengalami hasil panen kebun sawit dan sawah padinya yang terus merosot.

Ada salah seorang warga di salah satu Desa di jambi  mulai melakukan terobosan alternatif sejak 2010. Dia mengubah seluruh lahan sekitar rumahnya –seluas 2,4 ha– menjadi lahan pertanian organik dan tumpangsari (multicrops) tanaman pangan, palawija, sesayuran, bebuahan, dan tanaman obat (herbs). Hasilnya tidak mengecewakan. Dengan sistem tanam dan panen berkala bergilir, pendapatan dari hasil seluruh lahan itu kembali meningkat 3 kali lipat dibanding sebelumnya.

Memperhatikan permintaan pasar dan harganya yang nisbi mantap (stabil), bahkan terus naik, dari hasil-hasil pertanian organik, dia sangat ingin mendapatkan pengakuan resmi (sertifi kasi) semua hasil lahannya sebagai produk organik. Sayangnya, niat itu tak terwujud sampai sekarang

Penyebab utamanya adalah  seluruh lahan lain sekitarnya masih menggunakan asupan kimia yang sangat tinggi. Lahan organik yang diusulkan untuk memperoleh sertifi kat itu pun masih menggunakan air dari saluran pengairan (irigasi) sekunder di sana yang sudah sangat tercemar oleh sisa-sisa (residu) kimia pestisida (pembasmi tikus dan hewan pengerat), insektisida (pembasmi serangga), herbisida (pembasmi rumput gulma), dan fungisida (pembasmi jamur tanaman). Hasil panen dari lahan yang diusulkan memang tidak diragukan kemurniannya sebagai produk organik, namun tidak ada jaminan produk-produk itu tak tercemar oleh zat-zat kimia berbahaya yang masih sangat padat (intensive) digunakan di lahan-lahan sekitarnya yang berada dalam satu kawasan eksositem atau bentang alam yang sama.

Untuk mendapatkan pengakuan (sertifi kat) resmi produk organik, maka seluruh hamparan sawah, kebun, bahkan juga kawasan penyanggah hutan lindung juga harus sudah terbebas penuh dari penggunaan asupan kimia pertanian, bukan hanya petak lahan yang sudah menerapkan sistem organik saja!

Leave a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *